Novel
Remaja
Judul : 5cm.
Pengarang : Donny Dhirgantoro
Penerit : Grasindo
Tanggal
Rilis : 2005
Jumlah
Halaman : 381 halaman
Cerita berawal dari sebuah tongkrongan lima
orang yang mengaku “manusia-manusia agak pinter dan sedikit tolol yang sangat
sok tahu” yang sudah kehabisan pokok bahasan di saat-saat nongkrong sehingga
akhirnya cuma bisa ketawa-ketawa. Mereka adalah Arial, Riani, Zafran, Ian, dan
Genta. Arial adalah sosok yang paling ganteng diantara mereka. Riani pakai
kacamata, cantik, cerdas, dan seorang N-ACH sejati. Zafran seorang penyair yang
selalu bimbang. Ian, badannya gendut subur, kepalanya botak plontos. Genta
dianggap “the leader”, dengan badan agak besar dengan rambut agak lurus
berjambul.
Picture of You-nya The Cure terdengar
lembut dari tape mobil Ian di sepanjang jalan Diponegoro, Menteng. Lima orang
di dalam mobil itu baru aja makan bubur ayam di Cikini. Mereka sepakat, untuk
entah keberapa kalinya, pergi ke rumah Arial. Halaman rumah Arial luas dan
asri. Semuanya teringat, tiga tahunan yang lalu ketika mereka baru berempat dan
belum jadi “Power Rangers”. Tiba-tiba, “Mungkin sebaiknya kita nggak usah
ketemu dulu,” Genta mengalirkan kalimat pendek. “Kita ketemu lagi tanggal 14
Agustus yah,” Genta meyakinkan teman-temannya. “Pokoknya nanti gue bikin
reminder untuk tanggal 14 Agustus di handphone, tanggal 7 Agustus gue kasih tau
planningnya aja lewat SMS, di mana kita akan ketemuan,” lanjut Genta.
7 Agustus jam 09.00 pagi, Genta mengirim SMS
kepada 4 temannya. “Selamat pagi semuanya gw kangeeeen bgt sm kalian semua,
sumpah! Tgl 14 agt nanti qta ktm di stasiun kereta api senen jam 2 siang. Trus
kl ada acara dr 14 – 20 Agustus lo batilin dulu yaa. Please... ini yg hrs dibw
kl gak ada minjem ya. Kan ada wkt seminggu: Carrier. Bajuanget yg bnyk.senter
dan batere. Makanan dan snack buat 4 hari.... kacamata
item.betadine,obat.sendal sepatu.kl bs mulai hari ini olahraga kecil kecilan,
apalagi buat Ian.gitu aja ya.sampai ktm distasiun senen jam 2. Genta yg lg
kangen.”
14 Agustus. Satu lebih tiga puluh lima menit.
Siang itu daerah Senen panas sekali. Di stasiun Senen, Genta dengan bawaannya
yang superbanyak, menikmati makan siang di salah satu restoran Padang di situ.
Tiba-tiba sosok Zafran terlihat oleh Genta dengan carriernya yang gede, baju
oranye menyala, celana pendek, dan kacamata eighties ala Erik Estrada di film
CHIPs-membuat Zafran terlihat nyentrik. Sosok Ian dan Riani penuh senyum
berlari kecil memasuki Restoran Padang. Arial datang dengan membawa adiknya,
Dinda.
Pukul setengah tiga lebih, mereka berenam plus
barang bawaan yang mirip rombongan pecinta alam pun menuju ke kereta yang siap
berangkat. Kereta ekonomi MATARMAJA yang entah sudah berapa tahun melayani
trayek Malang-Jakarta pulang pergi ini tampak begitu tua dan kumuh, dengan
kaca-kaca yang sudah pecah. Setelah membereskan barang bawaan, mereka duduk
berenam, berhadap-hadapan. Riani dan Dinda duduk berhadapan di pojok dekat
jendela. Genta di sebelah Riani berhadapan dengan Arial, dan Zafran di sebalh
Arial berhadapan dengan Ian. Lima menit kemudian kereta pun mulai bergerak
meninggalkan Stasiun Senen. Kereta bergerak perlahan dengan sesekali
mengeluarkan angin dari sambungan gerbongnya.
Ian lalu lancar bercerita tentang jumpalitannya
selama dua bulan. Ia yang pantang menyerah, dua kali penolakan kuisionernya,
menakjubkannnya Sukonto Legowo, Mas Fajar, keriputnya tangan Papa-Mama,
sidangnya, pokonya semua Ian ceritakan. Arial mulai bercerita tentang Indy,
wanita yang telah merebut hatinya, Indy yang tampangnya biasa aja tapi enak
dilihat dan nggak bikin bosen. Indy yang selalu mengisi hari-hari Arial selama
ini.
Setengah malam telah lewat. Kereta tua yang tak
kenal lelah itu mulai menyapa kota-kota di Jawa Tengah, melaju cepat di atas
tanah Jawa di malam hari. Jalan desa dan jalan kota-kota tua yang damai dan
sepi. Setengan tiga malam di Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Genta, Riani,
Zafran, dan Dinda turun dari kereta, menginjakkan kaki di ubin putih yang mulai
kekuningan di stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Mereka berjalan ke toilet stasiun
yang ada di antara para pedagan yang masih mencari rezeki di malam yang terasa
lain di hati mereka berempat.
Mereka berempat segera berjalan masuk ke kereta.
Perlahan tapi pasti, kereta mulai berjalan meninggalkan Stasiun Lempuyangan.
Kereta mulai melaju cepat melewati hutan jati antara Madiun dan Nganjuk. Keenam
anak manusia ini pun sudah dari kantuknya, mulai bercanda lagi di kereta. Pagi
di luar sangat cerah seakan berdatangan menyambut rombongan yang jauh dari
rumah ini.
Pukul setengah tiga lebih mereka tiba di Stasiun
Malang. Matahari sore yang sudah enggan mengeluarkan panasnya datang menyambut.
Sebelum meninggalkan kereta, sekali lagi mereka pandangi kereta yang terdiam
lelah setelah berlari seharian penuh; kereta yang dalam diamnya telah banyak
bercerita tentang beragam manusia. Di stasiun Malang, rombongan pecinta alam
itu menarik perhatian banyak orang. Rasa pegal-pegal belum hilang benar
dari badan mereka sehingga mereka putuskan untuk duduk sebentar di bangku
stasiun yang panjang-meluruskan kaki dan menghilangkan penat.
Matahari sore masih tersisa sedikit, menembus
pepohonan di jalan desa kecil. Sore itu di Tumpang banyak sekali kesibukan
jip-jip menunggu pendaku yang mulai berdatangan dengan berbagai macam tas
carrier besar. Penampilan mereka mirip semua karena memang mempunyai tujuan
yang sama: MAHAMERU.
Mereka mulai melangkah, menyusuri jalan berbatu
desa yang akhirnya berbelok ke jalan setapak kecil menuju ke punggung Mahameru.
Perjalanan berlanjut menembus-mendaki pinggir hutan punggung Mahameru.Dari
ketinggian pinggiran lereng hutan Mahameru, Ranu Kumbolo perlahan muncul
seperti tetesan air raksasa yang jatuh dari langit dan membesar di depan
mereka.
Pukul 02.00 malam, dingin di atas tiga ribu
meter. Rombongan itu berdiri di depan tenda. Keenam anak manusia itu tertegun
melihat Mahameru dalam gelap malam. Rombongan mulai bergerak, berjalan melewati
hutan cemara yang gelap. Puncak Mahameru seperti sebuah gundukan pasir
mahabesar dengan tebaran batu karang gunung di mana-mana. Jalur pendakian
terlihat terang dipenuhi sinar bulan dan cahaya senter para pendaki mulai
mendaki Mahameru.
Matahari pagi tujuh belas Agustus pun terbit,
sinar matahari yang hangat menyapa badan dingin mereka. Keenam anak manusia itu
seperti melayang saat menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Waktu
seperti terhenti, dataran luas berpasir itu seperti sebuah papan besar
menjulang indah di ketinggian menggapai langit, di sekeliling mereka tampak
langit biru-sebiru-birunya-dengan sinar matahari yang begitu dekat. Awan putih
berkumpul melingkar di bawah mereka di mana-mana, asap putih tebal yang
membubung di depan mereka sekarang terlihat jelas sekali kepulannya. Para
pendaki tampak berbaris teratur di puncak Mahameru. Di depan barisan tertancap
tiang bendera bambu yang berdiri tinggi sendiri dengan latar belakang kepulan
asap Mahameru dan langit biru
“...Biarkan keyakinan kamu, 5 cm menggantung, mengambang di depan kamu.
Dan...sehabis itu yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari
biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan
menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas.
Lapisan tekad yang seribu kali lebih kuat keras dari baja, hati yang akan
bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu
berdoa...percaya pada 5 cm di depan kening kamu.” Kata Zafran dengan penuh
keyakinan.
Sepuluh tahun kemudian,
Minggu pagi di secret garden. Keluarga besar itu berkumpul di bungalow secret
garden. Riani dan Dinda memejamkan matanya. Sekarang mereka menjadi seorang
ibu. Bungalow secret garden hari itu penuh dengan doa, mimpi, dan keyakinan
tulus di hati anak manusia. Semuanya saling pandang dan tersenyum hangat satu
sama lain.
Unsur Intrinsik Novel
Tema :
Persahabatan, Cinta, Nasionalisme
Alur :
Maju
Latar : -
Waktu : Pagi, Siang, Sore, Malam
-
Tempat : jakarta,
rumah Arial (secret garden), stasiun senen, malang, stasiun Lempuyungan, Ranu
Pane, Ranu Kumbolo, puncak Mahameru
-
Suasana: Senang
(pada saat lima sekawan bertemu kembali setelah sekian lama tak berjumpa),
Sedih ( pada saat Genta menembak Riani dan tidak diterima), tegang (pada
saat mendaki tebing)
Tokoh :
Genta, Arial, Zafran, Riani, Ian, Dinda, Indy, Pak Sukonto Legowo,
Penokohan :
-
Genta
: rajin, percaya diri akan keputusannya, pantang menyerah, perfeksionis, orang
yang paling dipercaya sama 4 sahabatnya.
-
Arial
: tampan, keker, asik, tenang, apa adanya,
malu setiap ngomong sama
cewek.
-
Riani
: salah satu perempuan di lima sekawan,cantik, baik, ramah, karismatik, kritis,
dan cerdas.
-
Ian
: gendut, lucu, fanatik, pejuang keras
tapi terkadang malas-malasan.
-
Zafran
: cool/keren, puitis, pintar, spontan(blak-blakan),pecinta, dan
perhatian.
Sudut Pandang :
Orang ketiga
Amanat :
1. Harus selalu menumbuhkan rasa yakin/percaya diri dalam
diri kita dan optimis.
2. Berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk orang
lain.
3. Mengejar cita-cita setinggi lagit.
4. Senantiasa ingat pada Tuhan dan menyerahkan segala
sesuatu pada-Nya
5. Menerima teman apa adanya/menghargai kekurangan dan
kelebihannya.
6. Saling membantu satu sama lain.
7.
Jadilah diri kita
yang bisa mengatur keadaan, jangan mau
diatur oleh keadaan.
Nilai-nilai :
- Ideologis :
Saling menolong antar sesama.
- Sosial :
Menghargai teman dan menerima apa adanya.
- Edukatif :
Mengejar cita-cita setinggi langit.
- Moral :
Mencintai keindahan alam dan melestarikan negeri sendiri.
- Estetika :
Terdapat pada unsur keindahan alam yang menakjubkan.
- Humanistik : Rasa
kesetiakawanan.
- Religius :
Menyerahkan segala sesuatu pada TUHAN.
-
Psikologis : Tidak membeda-bedakan antar sesama
manusia.
GAYA BAHASA : REMAJA( bahasa anak jaman sekarang jadi mudah dimengerti oleh pembaca).
Posting Komentar